Sementara Hisako Hara membantu persiapan workshop Paramodel, saya dan Yap Siau Bin mengunjungi ruang galeri Suntory Museum untuk menyaksikan pameran “The Springtime of Russian Avant-Garde”. Kehadiran para seniman avant-garde Russia nampaknya memang melahirkan dampak tersendiri bagi perkembangan seni modern di Eropa. Lahir di awal abad ke-20, gerakan seniman avant-garde Russia juga sempat diwarnai oleh era Revolusi Russia yang terjadi pada tahun 1917. Lebih jauh, para seniman avant-garde Russia kemudian ikut melahirkan gerakan suprematisme, fauvisme dan konstruktivisme, yang sebelumnya mengadopsi gerakan kubisme, futurisme dan neo-primitivisme. Pada tahun 1920, sebagai dampak dari kebijakan ekonomi baru di Russia, para seniman avant-garde Russia mulai mendapat kritik yang tajam. Karya mereka dianggap terlalu mengedepankan kepentingan individu.
Dalam catatan pengantar pameran ini, selanjutnya prinsip – prinsip konstruktivisme mulai diaplikasikan ke dalam karya keramik, poster, fashion dan arsitektur. Sementara itu, para seniman avant-garde Russia kemudian banyak yang diusir dan mengungsi, namun kemudian mendapat pengakuan di beberapa negara di luar Russia. Wassily Kandinsky diangkat menjadi profesor di Bauhaus; Marc Chagall dan Aleksandra Ekster mengungsi ke Paris, sementara David Burliuk mengungsi ke Jepang sebelum kemudian hijrah ke Amerika. Pada tahun 1932, Central Committee of the Communist Party yang pada saat itu dipimpin oleh Joseph Stalin akhirnya memutuskan untuk membubarkan semua organisasi seni dan menentukan bahwa realisme sosial menjadi satu-satunya prinsip penciptaan dalam karya seni.
Saya merasa keputusan ini juga melahirkan dampak dan dinamika tersendiri dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Pada tahun 1938, Sudjojono dan Agus Djaja mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI), dan melahirkan corak ekspresi estetik yang kental dengan isu sosial politik. Sanento Yuliman mencatat bahwa gerakan seni yang lahir setelah era ini merupakan identifikasi dari perjuangan bangsa, ditengah ketiadaan pranata penyangga kecuali pelukis dan perkumpulan pelukis. Pergolakan situasi militer, politik, dan sosial, serta pandangan seni lukis adalah ungkapan diri dan kehidupan, melahirkan seni lukis yang emosional, tegang, dinamis, dan mencitrakan dunia sekeliling.
Sementara itu, pemikiran yang spesifik di bidang estetika rupa-rupanya juga bergolak di Universitaire Leergang voor Takenleraren (Sekolah Guru Gambar) di Bandung, yang didirikan pada tahun 1947. Di sini seorang seniman Belanda yang bernama Ries Mulder mulai memperkenalkan gaya abstrak-geometris, yang mengadopsi gerakan kubisme dan prinsip estetika yang dikembangkan oleh Ecole de Paris. Diantara mahasiswa yang belajar di sana adalah Ahmad Sadali, Srihadi Sudarsono, Mochtar Apin, But Muchtar, Popo Iskandar dan Sudjoko. Karya-karya awal mereka pada saat itu memperlihatkan pengaruh kuat kubisme gaya Perancis.
Selanjutnya pada sekitar tahun 1963-1965 situasi politik di Indonesia mulai memanas. Gerak-gerik seniman Bandung mulai dibatasi oleh aktifitas seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan faksi-faksinya yang mendukung prinsip realisme sosial. Didirikan pada tanggal 17 Oktober 1950, LEKRA merupakan lembaga yang disegani karena dianggap dekat dan mendukung kebijakan pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Sampai kemudian terjadi proses peralihan kekuasaan politik pada tahun 1965, yang menyebabkan ruang gerak seniman Bandung kembali terbuka. Di era ini mulai muncul anggapan bahwa seni lukis Indonesia sudah mendapatkan hak asasinya yang paling murni. Para pelukis sudah kembali kepada seni lukis, dan bukan lagi “anak politik”.
Dalam buku yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), Denys Lombard menguraikan catatan sebagai berikut:
“Kendati demikian, pada tahun 1963 keadaan memburuk. Konflik pecah dengan adanya “Manifesto Kebudayaan” (Manikebu), yang ditandatangani oleh sejumlah pengarang dan beberapa pelukis. Para partisan “l’art pour l‘art” menyatakan perang terhadap para seniman Lekra yang kekuasaannya mereka takuti. Pada tahun 1965-1966, lengkaplah sudah kemenangan mereka. Henk Ngantung, waktu itu walikota Jakarta, disingkirkan, Hendra dipenjara. Aliran realis di Yogyakarta dibubarkan; sementara di Jakarta dan Bandung, aliran nonfiguratif menegakan kepala.”
Ketika keluar dari ruang pameran, saya kemudian tertegun membayangkan sebuah periode yang krusial dalam perkembangan seni modern, dimana prinsip estetik individu bertemu dengan kepentingan ideologi negara yang diwarnai dengan konflik politik yang begitu dramatis. Barangkali bahkan sampai hari ini relasi antara seni dengan politik, atau bahkan hubungan antara seniman dengan masyarakatnya merupakan persoalan yang senantiasa dipenuhi dengan pertanyaan, ketegangan dan kecurigaan.
Prinsip kebebasan dan kemerdekaan individu akan terus diuji keberadaannya oleh semangat zaman. Di beberapa belahan dunia, hal ini bahkan berujung kepada konflik yang memakan banyak korban. Sampai kapan prinsip ini dapat bertahan saya kira akan sulit menjawabnya. Namun saya merasa bahwa kemerdekaan individu juga merupakan pondasi yang penting bagi otonomi masyarakat sipil. Dalam hal ini, memiliki imajinasi saya rasa merupakan hak dasar yang keberadaannya tidak dapat direbut oleh siapapun. Tak terkecuali oleh kepentingan ekonomi maupun politik atau bahkan ideologi negara.