Feeds:
Posts
Comments

Archive for October 31st, 2008

Sementara Hisako Hara membantu persiapan workshop Paramodel, saya dan Yap Siau Bin mengunjungi ruang galeri Suntory Museum untuk menyaksikan pameran “The Springtime of Russian Avant-Garde”. Kehadiran para seniman avant-garde Russia nampaknya memang melahirkan dampak tersendiri bagi perkembangan seni modern di Eropa. Lahir di awal abad ke-20, gerakan seniman avant-garde Russia juga sempat diwarnai oleh era Revolusi Russia yang terjadi pada tahun 1917. Lebih jauh, para seniman avant-garde Russia kemudian ikut melahirkan gerakan suprematisme, fauvisme dan konstruktivisme, yang sebelumnya mengadopsi gerakan kubisme, futurisme dan neo-primitivisme. Pada tahun 1920, sebagai dampak dari kebijakan ekonomi baru di Russia, para seniman avant-garde Russia mulai mendapat kritik yang tajam. Karya mereka dianggap terlalu mengedepankan kepentingan individu.

Dalam catatan pengantar pameran ini, selanjutnya prinsip – prinsip konstruktivisme mulai diaplikasikan ke dalam karya keramik, poster, fashion dan arsitektur. Sementara itu, para seniman avant-garde Russia kemudian banyak yang diusir dan mengungsi, namun kemudian mendapat pengakuan di beberapa negara di luar Russia. Wassily Kandinsky diangkat menjadi profesor di Bauhaus; Marc Chagall dan Aleksandra Ekster mengungsi ke Paris, sementara David Burliuk mengungsi ke Jepang sebelum kemudian hijrah ke Amerika. Pada tahun 1932, Central Committee of the Communist Party yang pada saat itu dipimpin oleh Joseph Stalin akhirnya memutuskan untuk membubarkan semua organisasi seni dan menentukan bahwa realisme sosial menjadi satu-satunya prinsip penciptaan dalam karya seni.

Saya merasa keputusan ini juga melahirkan dampak dan dinamika tersendiri dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Pada tahun 1938, Sudjojono dan Agus Djaja mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI), dan melahirkan corak ekspresi estetik yang kental dengan isu sosial politik. Sanento Yuliman mencatat bahwa gerakan seni yang lahir setelah era ini merupakan identifikasi dari perjuangan bangsa, ditengah ketiadaan pranata penyangga kecuali pelukis dan perkumpulan pelukis. Pergolakan situasi militer, politik, dan sosial, serta pandangan seni lukis adalah ungkapan diri dan kehidupan, melahirkan seni lukis yang emosional, tegang, dinamis, dan mencitrakan dunia sekeliling.

Sementara itu, pemikiran yang spesifik di bidang estetika rupa-rupanya juga bergolak di Universitaire Leergang voor Takenleraren (Sekolah Guru Gambar) di Bandung, yang didirikan pada tahun 1947. Di sini seorang seniman Belanda yang bernama Ries Mulder mulai memperkenalkan gaya abstrak-geometris, yang mengadopsi gerakan kubisme dan prinsip estetika yang dikembangkan oleh Ecole de Paris. Diantara mahasiswa yang belajar di sana adalah Ahmad Sadali, Srihadi Sudarsono, Mochtar Apin, But Muchtar, Popo Iskandar dan Sudjoko. Karya-karya awal mereka pada saat itu memperlihatkan pengaruh kuat kubisme gaya Perancis.

Selanjutnya pada sekitar tahun 1963-1965 situasi politik di Indonesia mulai memanas. Gerak-gerik seniman Bandung mulai dibatasi oleh aktifitas seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan faksi-faksinya yang mendukung prinsip realisme sosial. Didirikan pada tanggal 17 Oktober 1950, LEKRA merupakan lembaga yang disegani karena dianggap dekat dan mendukung kebijakan pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Sampai kemudian terjadi proses peralihan kekuasaan politik pada tahun 1965, yang menyebabkan ruang gerak seniman Bandung kembali terbuka. Di era ini mulai muncul anggapan bahwa seni lukis Indonesia sudah mendapatkan hak asasinya yang paling murni. Para pelukis sudah kembali kepada seni lukis, dan bukan lagi “anak politik”.

Dalam buku yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), Denys Lombard menguraikan catatan sebagai berikut:

“Kendati demikian, pada tahun 1963 keadaan memburuk. Konflik pecah dengan adanya “Manifesto Kebudayaan” (Manikebu), yang ditandatangani oleh sejumlah pengarang dan beberapa pelukis. Para partisan “l’art pour l‘art” menyatakan perang terhadap para seniman Lekra yang kekuasaannya mereka takuti. Pada tahun 1965-1966, lengkaplah sudah kemenangan mereka. Henk Ngantung, waktu itu walikota Jakarta, disingkirkan, Hendra dipenjara. Aliran realis di Yogyakarta dibubarkan; sementara di Jakarta dan Bandung, aliran nonfiguratif menegakan kepala.”

Ketika keluar dari ruang pameran, saya kemudian tertegun membayangkan sebuah periode yang krusial dalam perkembangan seni modern, dimana prinsip estetik individu bertemu dengan kepentingan ideologi negara yang diwarnai dengan konflik politik yang begitu dramatis. Barangkali bahkan sampai hari ini relasi antara seni dengan politik, atau bahkan hubungan antara seniman dengan masyarakatnya merupakan persoalan yang senantiasa dipenuhi dengan pertanyaan, ketegangan dan kecurigaan.

Prinsip kebebasan dan kemerdekaan individu akan terus diuji keberadaannya oleh semangat zaman. Di beberapa belahan dunia, hal ini bahkan berujung kepada konflik yang memakan banyak korban. Sampai kapan prinsip ini dapat bertahan saya kira akan sulit menjawabnya. Namun saya merasa bahwa kemerdekaan individu juga merupakan pondasi yang penting bagi otonomi masyarakat sipil. Dalam hal ini, memiliki imajinasi saya rasa merupakan hak dasar yang keberadaannya tidak dapat direbut oleh siapapun. Tak terkecuali oleh kepentingan ekonomi maupun politik atau bahkan ideologi negara.

Read Full Post »

Berkunjung ke Space 208

Hari ini akhirnya saya bertemu dengan Yap Sau Bin, seorang peserta program pertukaran dan residensi JENESYS yang berasal dari Malaysia. Ia adalah seniman yang juga merupakan salah seorang pendiri dari Rumah Air Panas (RAP), sebuah organisasi seniman independen yang berbasis di Kuala Lumpur. Selama beberapa tahun terakhir saya sudah sering mendengar namanya, terutama terkait dengan berbagai aktifitas yang dikembangkan di RAP.

Kami bertemu di Stasiun Ōsaka-Temmangū sekitar pukul 1 siang. Sebetulnya saya berjanji kepada Hisako Hara untuk bertemu di stasiun ini sekitar jam 12 siang. Namun karena saya salah naik kereta, akhirnya saya harus datang terlambat. Untungnya Hisako Hara dan Yap Sau Bin juga datang agak terlambat, jadi mereka tidak harus menunggu terlalu lama di sini.

Begitu saya sampai, kami bertiga langsung berangkat ke Space 208. Tempat ini sebetulnya adalah sebuah apartemen yang disewa secara bersama-sama oleh sekitar 7 orang anggota. Berdiri pada tahun 2004, Space 208 adalah sebuah studio bersama yang terutama dimanfaatkan sebagai ajang sosialisasi antar anggota, seniman dan komunitas masyarakat tertentu di Osaka. Anggota dari komunitas ini berasal dari latar belakang yang beragam, mulai dari musisi, seniman, penulis, editor, animator, aktifis, dsb.

Selain kegiatan screening, di tempat ini juga kerap diselenggarakan kegiatan kuliah umum, diskusi dan pesta yang biasanya mengundang kerabat dekat dari para anggota Space 208. Di tempat ini saya berkenalan dengan Takuro Iwabuci, seorang seniman yang memiliki profesi dan aktifitas yang bermacam-macam. Selain mengelola studio Mediapicnic, ia juga pernah menjadi kontributor untuk majalah Wired, selain juga bekerja sebagai seorang editor, programmer, blogger, dan produser untuk acara TV dan Radio.

Masing-masing anggota Space 208 sebetulnya memiliki studio dan tempat kerja sendiri. Menurutnya, salah satu alasan kenapa ia dan teman-temannya membuka Space 208 adalah karena merasa membutuhkan studio bersama agar dapat bersosialisasi dan menghilangkan stress. Selain itu, karena harga sewa ruangan yang mahal di Osaka, akhirnya strategi yang mereka terapkan adalah menyewa apartemen secara bersama-sama.

Dalam berkarya, Takuro Iwabuci merupakan sosok yang gemar menggunakan teks, citra dan strategi representasi yang semuanya dirangkai menjadi karya yang konseptual. Selain itu, ia juga sering mengembangkan beberapa proyek yang melibatkan masyarakat umum. Salah satunya adalah kegiatan workshop Mediapicnic yang baru saja ia selenggarakan di daerah Nakanoshima, yang terletak di atas sebuah pulau yang dihimpit oleh dua sungai di salah satu pusat keramaian kota Osaka. Hasil dari workshop ini dapat dilihat di halaman http://nakanoshima.mediapicnic.com.

Ketika berbincang-bincang dengannya, ia melontarkan pendapat bahwa terkadang ia meragukan bahwa keberadaan seniman dan karya seni memiliki manfaat tertentu bagi masyarakat luas. Menurutnya seniman biasanya memiliki kebutuhan dan tujuan sendiri yang sebetulnya tidak selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara umum. Karena hal ini, ia juga kadang mempertanyakan berbagai program seni yang dikembangkan oleh pemerintah, seperti misalnya pemberian dana hibah dari pemerintah kepada seniman. Menurut Takuro, sebetulnya agak aneh kalau pemerintah mau mengeluarkan uang untuk karya seni, mengingat uang pemerintah sebetulnya berasal dari pajak yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

Walau sering merasa janggal, terkadang ia juga senang kalau ada pihak yang memberinya uang untuk karya seni yang ia kerjakan. Menurutnya dengan dukungan finansial yang cukup, sebetulnya seniman bisa mengerjakan banyak hal secara maksimal. Namun, sampai saat ini ia jarang sekali mendapatkan uang dari karya seni yang ia buat. Kebanyakan kebutuhan finansial ia dapatkan dari berbagai pekerjaan yang selama ini ia kembangkan. Dalam hal ini, menurutnya apa yang ia kerjakan sekarang malah mendatangkan keuntungan lebih banyak apabila dibandingkan dengan pendapatan seorang seniman profesional, karena para seniman mainstream banyak yang menggantungkan hidupnya pada galeri komersial ataupun museum seni.

Selepas berbincang-bincang dengan Takuro Iwabuci, kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Suntory Museum. Kebetulan Hisako Hara harus membantu persiapan workshop untuk anak-anak yang akan dipandu oleh Paramodel besok siang di museum ini. Sementara menunggu, saya dan Yap Sau Bin menonton pameran seni rupa Russian Avant-Garde di ruang galeri Suntory Museum. Pameran ini menampilkan koleksi seniman avant-garde Russia yang dipinjam dari Moscow Museum of Modern Art dan menampilkan sejumlah karya seniman avant-garde Russia semisal Niko Pirosmani, Kazimir Malevich, David Burliuk, dsb.

Read Full Post »