Feeds:
Posts
Comments

Archive for October 9th, 2008

Selepas menyusuri kota Tokyo untuk mengunjungi beberapa tempat dan bertemu dengan beberapa seniman, kurator, serta peneliti, saya kembali ke hotel untuk beristirahat sejenak. Rencananya malam ini saya akan mengunjungi Chikara Matsumoto, seorang seniman animasi yang sempat berkunjung ke Common Room sekitar awal tahun yang lalu terkait dengan pelaksanaan KITA!! Japanese Artists Meet Indonesia yang berlangsung sejak tanggal 9 April s/d 18 Mei 2008 di kota Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Ketika datang ke Bandung, Chikara menetap di Common Room selama hampir tiga minggu untuk mempersiapkan pameran dan workshop di Selasar Sunaryo Artspace. Hari ini rencananya saya akan berkunjung ke rumah Chikara bersama-sama dengan Keiko Suzuki yang juga sempat terlibat dalam pelaksanaan kegiatan KITA!! Japanese Artists Meet Indonesia di Bandung dan Yogyakarta.

Tak berapa lama Keiko datang dan kami kemudian bergegas menuju ke rumah Chikara dengan menggunakan kereta api. Tak sampai setengah jam saya sudah sampai di rumah Chikara yang terletak di pinggiran kota Tokyo. Ketika sampai di rumahnya, impresi pertama yang saya dapati adalah suasana rumahnya yang nyaris seperti gudang toko kelontong yang berisi berbagai macam barang yang tersebar hampir di setiap sudut ruangan. Rupa-rupanya Chikara tinggal bersama dengan ibunya yang bernama Yukiko Matsumoto, seorang desainer topi yang memiliki studio di lantai dua rumah mereka. Ia menghabiskan sebagian masa kecilnya di rumah ini. Semula rumah ini dimiliki oleh kakeknya sebelum kemudian menjadi rumah tinggal bagi Chikara dan ibunya. Secara garis besar, rumah ini terbagi menjadi tiga lantai dengan tiga fungsi yang berbeda. Chikara memanfaatkan lantai satu sebagai studio tempat dia bekerja. Sementara itu di lantai dua terdapat studio kecil milik Ibunya yang bersebelahan dengan dapur. Sementara itu, lantai tiga dimanfaatkan sebagai kamar tidur tempat mereka berdua bersitirahat.

Ketika datang, Chikara telah menyiapkan makan malam untuk kami. Rupa-rupanya dia memasak kari Jepang untuk kami. Segera setelah semua siap, kami pun bersantap malam sambil ditemani dengan sake yang terbuat dari buah plum. Sungguh sebuah perpaduan yang nikmat. Sesekali, makan malam kami diisi dengan perbincangan yang hangat mengenai Jepang, Indonesia, kain batik, kehidupan sehari-hari dan pekerjaan Yukiko sebagai seorang desainer topi. Sebagai seorang ibu, tampaknya Yukiko Matsumoto sangat menyayangi dan bangga terhadap anaknya. Hubungan mereka berdua lebih mirip seperti dua orang seniman yang bersahabat dengan erat ketimbang ibu dan anak. Mereka adalah keluarga yang lucu.

Chikara kemudian memperlihatkan karya animasinya yang terbaru. Sampai saat ini, saya masih sering terheran-heran dengan proses pembuatan animasi Chikara yang terkesan low-tech dan sangat primitif. Namun begitu, karyanya tetap menghasilkan sensasi visual yang kuat walaupun wujudnya sangat sederhana. Sekilas ia menjelaskan teknik dan proses pembuatan animasi yang telah ia kembangkan sejak tahun 1993, beberapa tahun setelah ia lulus kuliah desain grafis di Tama Art University, Tokyo. Karya-karyanya banyak dipengaruhi oleh imaji populer dan estetika kitsch semisal manga ataupun anime. Sejak tahun 2001, Chikara juga kerap berkolaborasi dengan kelompok musik elektronik Organ-O_Rounge. Beberapa tahun yang lalu, sebelum memutuskan untuk bekerja sebagai seniman animasi, Chikara juga sempat bekerja untuk sebuah biro arsitektur untuk sementara waktu.

Malam itu kami berbincang-bincang sampai lupa waktu sehingga Keiko hampir ketinggalan kereta terakhir untuk pulang ke rumahnya. Beruntung kami masih bisa bergegas mengantar Keiko ke stasion kereta di daerah Shibuya dengan menggunakan mobil milik Chikara. Sebelum pulang kembali ke hotel, Chikara sempat memperlihatkan karya muralnya di daerah Roppongi. Karya ini adalah proyek yang dikembangkan oleh pemerintah kota Tokyo untuk merevitalisasi ruang-ruang kota yang terbengkalai dengan membuat karya seni di ruang publik. Tampaknya proyek ini telah berhasil merubah karakter daerah yang semula tidak aman menjadi lebih ramah sehingga dapat digunakan secara leluasa oleh masyarakat, terutama di malam hari. Tak berapa lama di daerah Roppongi, Chikara kemudian mengantarkan saya kembali ke hotel untuk beristirahat. Minggu depan rencananya saya akan berangkat ke Osaka dan kembali ke Tokyo pada akhir bulan November. Kami kemudian berjanji untuk bertemu kembali sebelum saya pulang ke Indonesia.

Read Full Post »

“When Time shall have softened passion and prejudice,
when Reason shall have stripped the mask from misinterpretation,
then Justice, holding evenly her scales, will require
much of past censure and praise to change places.”

Dr. Radha binod Pal

Uraian di atas terpampang di atas permukaan sebuah batu granit yang menampilkan sesosok figur dengan ekspresi wajah yang begitu lembut dan menyejukkan. Dr Radha pinod Pal adalah seorang hakim yang menjadi perwakilan India ketika bertugas dalam sebuah pengadilan militer di kota Tokyo pada bulan Mei 1948. Dalam persidangan yang dikenal luas sebagai proses Pengadilan Tokyo (Tokyo Trial), Dr. Radha binod Pal tampil sebagai figur yang bekerja keras untuk meredam hasrat balas dendam tentara sekutu dan mengupayakan koreksi atas perspektif yang bias mengenai fakta sejarah di seputar pertempuran antara bala tentara Kerajaan Jepang dengan pasukan sekutu di Perang Dunia II.

Pernyataan dari Dr. Radha binod Pal terpampang jelas dalam sebuah monumen yang didedikasikan untuknya di Kuil Yasukini. Bagi sebagian kalangan masyarakat di Jepang, keberadaan Kuil Yasukuni barangkali merupakan kontroversi yang rumit terkait dengan keberadaan para penjahat perang yang ikut dimakamkan di kuil ini. Dalam beberapa kesempatan, kunjungan para menteri dan perdana menteri dari kabinet pemerintahan Jepang juga kerap melahirkan gelombang protes, baik oleh sebagian masyarakat di Jepang maupun dari beberapa negara semisal Cina, Korea Utara dan Korea Selatan. Keberadaan Kuil Yasukuni juga sering dianggap sebagai sebuah upaya revisi sejarah dan glorifikasi dari perilaku militer bala tentara Kerajaan Jepang yang agresif di masa lalu.

Ketika saya berkunjung ke kuil ini, saya merasakan adanya kegamangan yang luar biasa. Meskipun masih merupakan sumber kontroversi bagi sebagian masyarakat di Jepang, tampaknya hal ini tidak dapat mencegah kedatangan para warga sepuh yang beragama Shinto untuk datang dan berdoa bagi mereka yang telah berguguran dalam medan perang. Di sekeliling kuil ini juga terdapat beberapa patung dan monumen yang juga didedikasikan untuk para pejuang dan korban perang. Selain itu terdapat juga museum yang dibangun dengan megah diantara pepohonan dan taman kota yang sejuk. Saya merasa Kuil Yasukini adalah sebuah monumen yang menggambarkan kegamangan manusia akan kekejaman perang dan sejarah yang suram. Seperti yang diuraikan oleh Dr. Radha binod Pal, tampaknya hanya waktu yang dapat menjernihkan hasrat dan prasangka di seputar kontroversi mengenai keberadaan kuil ini.

Sebelum datang ke Kuil Yasukini, saya terlebih dahulu berkunjung ke Kandada dan bertemu dengan Masato Nakamura. Ia adalah seorang seniman yang merupakan salah satu pendiri dari CommandN, sebuah organisasi seniman yang didirikan di Tokyo pada tahun 1998. Mereka termasuk pelopor bagi perkembangan kelompok seniman yang mengembangkan berbagai proyek dan aktifitas kolaborasi dengan komunitas seniman lokal dan masyarakat umum di kota Tokyo. Kandada merupakan sebuah ruang serba guna yang kerap digunakan untuk menyelenggarakan berbagai proyek dan kegiatan CommandN. Selain banyak mengembangkan kegiatan di Tokyo, CommandN juga kerap mengembangkan proyek di kota lain dan berkolaborasi dengan penduduk setempat seperti di kota Kanazawa dan berbagai program di Himming Art Center.

Hari ini saya juga berkunjung ke NLI Research Institute untuk bertemu dengan Mitsuhiro (Mitch) Yoshimoto. Di NLI Research Institute, Mitch bekerja sebagai direktur untuk departemen Arts and Cultural Projects for Social Research Group. NLI Research Institute adalah sebuah lembaga riset yang didirikan pada bulan Juli 1988 oleh Nippon Life Insurance Company (NLI). Lembaga ini membawahi beberapa departemen riset yang bertanggung jawab untuk mengembangkan kebijakan dan rekomendasi bagi berbagai perusahaan maupun lembaga pemerintah. Menurut Mitch, saat ini berbagai kajian di bidang seni dan kebudayaan sangat diperlukan untuk memberikan gambaran yang berguna bagi pengembangan strategi dan kebijakan publik. Berbagai hasil riset dari NLI Research Institute kerap dimanfaatkan sebagai bahan referensi bagi berbagai institusi keuangan maupun pemerintahan. Salah satunya adalah pemerintah Yokohama yang bekerjasama dengan NLI Research Institute dalam mengembangkan strategi dan kebijakan Creative City Yokohama.

Setelah berbincang-bincang di NLI Research Institute, saya kemudian beranjak ke The National Museum of Art, Tokyo dan bertemu dengan Reiko Nakamura, asisten kurator untuk departemen seni lukis dan seni patung. Kebetulan di museum ini sedang diselenggarakan pameran Emotional Drawing yang menampilkan karya gambar dari 16 seniman yang berasal dari Eropa, Asia dan Timur Tengah. Diantara para peserta ada dua orang seniman Indonesia, yaitu S. Teddy D. dan Ugo Untoro. Keduanya berasal dari Yogyakarta. Reiko kemudian mengajak saya untuk mengamati koleksi museum yang saat itu tengah memamerkan kumpulan karya fotografi, lukisan dan patung yang mencakup karya para seniman yang berasal dari periode awal 1900 s/d 1980-an. Mulai dari karya seni lukis tradisional, sampai pada lukisan dan patung modern yang bergaya naturalisme, realisme, serta surealisme, kubisme, ekspresionisme dan abstrak yang dibagi ke dalam kategori waktu yang berbeda.

Dalam kesempatan ini saya menemukan kemiripan perkembangan seni modern di Jepang dan Indonesia. Khusus untuk periode 1950 s/d 1980 tampaknya ada kecenderungan perkembangan seni modern di Jepang dan Indonesia didominasi oleh kehadiran karya seni modern yang bersandar pada kanon estetika yang disebarkan oleh institusi seni di Eropa dan Amerika. Menurut Reiko, pada periode ini ada banyak seniman di Jepang yang mendapat kritik cukup keras karena dianggap mengabaikan berbagai persoalan sosial yang terjadi di sekeliling mereka. Hal ini relatif mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu periode yang sama. Di kalangan sebagian kritikus, ada kritik yang menyatakan bahwa institusi seni modern yang berkembang pada saat itu secara sengaja menyebarkan paham seni modern barat di Asia sebagai sebuah simulakra untuk mengalihkan perhatian para seniman dari berbagai persoalan yang ada di sekeliling mereka. Hal ini dikembangkan sekaligus sebagai alat untuk menangkal pengaruh politik dan ideologi komunis serta karya-karya realisme sosial yang pada saat itu dianggap sebagai alat propaganda politik kelompok sosialis di Asia.

Read Full Post »