Saya berangkat ke Kobe dengan menggunakan kereta api sendirian hari ini. Rencananya saya akan mengunjungi studio C.A.P dan menghadiri World Creative City Forum yang diselenggarakan di sana. Semula saya agak ragu untuk berangkat, karena saya belum terlalu paham dalam menggunakan jalur kereta api dari Osaka ke Kobe. Namun setelah mengumpulkan beberapa informasi, saya memaksakan untuk berangkat guna melengkapi kegiatan riset saya di sini. Saya pikir perjalanan kali ini juga sekaligus sebagai wahana untuk melakukan studi dalam menggunakan sistem transportasi publik yang menghubungkan kota Osaka dan Kobe.
Dengan bekal informasi yang ada, saya berangkat dari Stasiun Shinobugaoka sekitar jam 9 pagi untuk menuju Stasiun Kyobasi, dan melanjutkan perjalanan ke Stasiun Amagasaki dengan menggunakan kereta yang berbeda. Dari Amagasaki, saya kemudian kembali menggunakan kereta api menuju Stasiun Sannomiya, untuk selanjutnya naik kereta Port Liner menuju Stasiun Port Terminal yang terletak di daerah pelabuhan kota Kobe. Akhirnya saya sampai di Kobe dan langsung menuju ke studio C.A.P yang letaknya tidak terlalu jauh dari Stasiun Port Terminal.
C.A.P adalah kepanjangan dari The Conference on Art and Art Projects. Organisasi ini telah memulai aktifitas mereka sejak tahun 1994. Didirikan oleh para seniman yang memiliki latar belakang yang berbeda, kegiatan C.A.P salah satunya juga dipicu oleh peristiwa gempa di Kobe yang terjadi pada sekitar tahun 1995. Sampai saat ini, C.A.P aktif menggelar berbagai kegiatan semisal program artist in resedence, workshop, pameran, konser, dsb. Salah satu titik fokus kegiatan para seniman C.A.P adalah mengembangkan kegiatan kesenian sebagai sarana untuk berinteraksi dan mengatasi persoalan yang ada di masyarakat. Beberapa waktu terakhir, para seniman yang tergabung di dalam C.A.P juga terlibat dalam program Gamelan Aid Project yang membantu menyelenggarakan berbagai kegiatan seni dan kebudayaan di Yogyakarta paska gempa yang terjadi pada tahun 2006.
Ketika mengunjungi Studio C.A.P, saya berkenalan dan berbincang-bincang dengan Nobu Shimoda, seniman yang juga merupakan salah seorang pendiri C.A.P. Dia menjelaskan berbagai kegiatan dan latar belakang C.A.P secara panjang lebar, sebelum kemudian diajak berkeliling melihat berbagai fasilitas yang ada di tempat ini. Sepintas studio C.A.P seperti pabrik tua yang sudah lama tidak digunakan. Ketika saya melongok ke salah satu studio, seorang seniman yang bernama Uemura Lyota tengah memamerkan beberapa karya gambar dan lukisan di sana. Setelah itu, saya kemudian diperkenalkan kepada Tomoko, salah saorang pegawai C.A.P yang bertugas sebagai representative officer. Kami kemudian makan siang bersama, sebelum kemudian saya melanjutkan perjalanan ke Kobe Gakuin University.
Nobu Shimoda mengantarkan saya ke Kobe Gakuin University yang terletak di pinggir pantai dengan mengunakan mobil. Kampus ini terletak di atas pulau buatan manusia, sehingga saya bisa menyaksikan pemandangan kota Kobe dengan jelas diantara kapal laut yang melintas secara perlahan. Rupanya kota ini terletak diantara pegunungan dan pinggir lautan, sehingga pemandangan di kota Kobe memiliki karakter yang sangat menarik. Kedatangan saya ke kampus ini guna menghadiri World Creative City Forum yang sebelumnya diselenggarakan di Kota Kanazawa.
Acara World Creative City Forum kali ini dibuka dengan presentasi mengenai pengembangan kota kreatif di Kobe oleh Tatsuo Yada yang merupakan Walikota Kobe. Selanjutnya, Prof. Masayuki Sasaki mempresentasikan makalah penelitiannya mengenai perkembangan kota kreatif di beberapa negara. Menurutnya, trend perkembangan dan wacana kota kreatif salah satunya dipicu oleh gelembung ekonomi dan proses globalisasi yang terjadi selama 20 tahun terakhir. Dalam proses ini muncul wacana kota global yang dimotori oleh beberapa kota semisal New York, London, Berlin dan Tokyo. Dalam prediksinya waktu itu, proses globalisasi akan gagal sehingga banyak kota di dunia harus mencari solusi alternatif untuk menjawab berbagai persoalan yang terkait dengan keberlangsungan proses pembangunan kota yang berkelanjutan. Wacana kota kreatif kemudian mencuat dan menemukan momentumnya terkait dengan peristiwa keruntuhan World Trade Center di New York pada tahun 2001. Dengan berbagai bentuk perubahan yang terjadi di tataran global, saat ini banyak kota di seluruh dunia dituntut untuk mengembangkan inovasi dan kreatifitas untuk menemukan solusi bagi berbagai tantangan dan persoalan di abad informasi yang dipenuhi dengan situasi yang serba tidak menentu.
Selain kedua pembicara di atas, acara ini juga menghadirkan Rebecca Wurzburger (Perwakilan pemerintah kota Santa Fe), Mauro Felicori (Direktur Bolgna City Council), Tanja Muehlhans (Koordinator Creative Industries Initiatve, Berlin), Prof. Chusaku Yasuda (Arsitek dan Urban Planner untuk Kobe Community Planning Center), dan Yasuhiro Kobayashi (The Japan Cultural Institute, Paris). Beberapa pembicara yang hadir memaparkan berbagai aspek yang terkait dengan upaya pengembangan kota kreatif yang memiliki kompleksitas persoalan yang cukup rumit. Wacana dan praktik dalam pengembangan kota kreatif tidak hanya berkaitan dengan persoalan kreatifitas, tetapi juga beririsan dengan kebijakan publik dan masalah tata kota yang kerap bersentuhan dengan persoalan sosial, politik dan ekonomi, selain masalah lingkungan serta keberagaman potensi seni dan budaya.
Kasus menarik dipaparkan oleh Walikota Kobe yang mengembangkan kebijakan untuk membatasi ketinggian gedung dan menciptakan ruang publik yang nyaman bagi masyarakat di kota Kobe. Menurutnya, hal ini terutama ditujukan untuk mempertahankan keindahan pemandangan dan menciptakan ruang sosial yang ideal, sehinga diharapkan dapat memicu kretifitas dan membangun reputasi yang positif bagi kota Kobe. Dalam diskusi, Mauro Felicori dari kota Bologna menyatakan bahwa saat ini pembangunan di Bologna juga memperlihatkan sebentuk kompromi yang mempertemukan energi kebudayaan dan proses pembangunan kota. Dalam pandangannya, kekayaan dan keberagaman budaya juga dapat memicu kemakmuran masyarakat, sehingga sangat bermanfaat bagi proses pembangunan kota yang berkelanjutan. Hal ini diperlihatkan melalui perkembangan kota Bologna yang sangat bergantung kepada berbagai aktifitas budaya yang diselenggarakan oleh masyarakatnya.
Dalam diskusi ini, Prof. Chusaku Yasuda memaparkan informasi yang merujuk kepada acara Earth Summit yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Menurutnya, saat ini strategi pengembangan kota kreatif juga harus mengandalkan aspek konservasi lingkungan dan keberagaman budaya untuk menunjang proses pembangunan yang berkelanjutan. Melanjutkan paparan dari Chusaku Yasuda, Yasuhiro Kobayashi kemudian menyatakan bahwa isu mengenai konservasi lingkungan dan keberagaman budaya mulai mencuat ketika UNESCO mengidentifikasi dampak globalisasi yang mengancam keberagaman budaya dan sumber daya alam pada tahun 2005. Untuk mengatasi hal ini, UNESCO kemudian mencantumkan aspek konservasi lingkungan dan keberagaman budaya sebagai syarat yang penting bagi pengembangan kota kreatif di tingkat dunia.
Diakhir diskusi, Prof. Masayuki Sasaki kemudian membacakan dokumen Kobe Agenda, yang merupakan resolusi dari para peserta pertemuan World Creative City Forum di Kobe. Dokumen ini menguraikan beberapa prinsip pembangunan kota kreatif yang memberikan penekanan pada proses pembangunan yang berkelanjutan, yang terutama ditujukan untuk meningkatkan kulitas hidup masyarakat sipil. Dokumen ini juga kemudian mencantumkan lima poin yang dinilai penting bagi proses pembangunan kota kreatif. Beberapa diantaranya adalah mendorong pengembangan kota kreatif berdasarkan kandungan dan keberagaman budaya; mengupayakan pengembangan sektor ekonomi kreatif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sipil; pentingnya peran serta seniman dalam proses pengembangan kota kreatif; kolaborasi diantara lembaga publik, sektor privat dan masyarakat sipil untuk menemukan solusi dan inovasi bagi berbagai persoalan kota; dan yang terakhir adalah pengembangan jaringan diantara kota kreatif, baik di level internasional, regional dan nasional.
Setelah acara selesai, saya kemudian sempat berbincang-bincang dengan Yasuhiro Kobayashi, dan menyampaikan beberapa perkembangan dan persoalan yang saat ini tengah dihadapi oleh kota Bandung. Menurut saya, beberapa hal yang dipaparkan dalam acara ini masih sangat berjarak dengan persoalan yang dihadapi oleh kota Bandung. Di beberapa negara maju, tampaknya pemerintah kota semakin memiliki peran yang penting dalam mendorong proses pembangunan yang berkelanjutan. Tercermin dari kebijakan pembangunan beberapa kota di Jepang semisal Tokyo, Yokohama, Kanazawa dan Kobe, yang seakan berlomba-lomba untuk mengembangkan berbagai kebijakan publik dan infrastruktur kota guna mendorong lahirnya inovasi dan kreatifitas bagi warganya. Di Bandung, sampai saat ini berbagai bentuk inovasi dan kreatifitas yang lahir kebanyakan merupakan bentuk dari inisiatif masyarakat untuk bertahan hidup sekaligus menjawab berbagai tantangan dan persoalan sehari-hari. Tidak mengherankan apabila perkembangan sektor ekonomi kreatif di kota Bandung lahir tanpa kebijakan dan infrastruktur yang memadai, sehingga kerap berseberangan dengan kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah.
Info tambahan: The Creative Cities Network
Leave a comment